Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah mengatakan ketahanan ideologi pancasila dan negara kesatuan republik Indonesia diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi. Di mana banyaknya ideology alternative merasuki ke dalam segenap sendi sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa. Radikalisme adalah paham yang menghendaki perubahan sosial dan politik, dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi keyakinan yang dianggap benar.
Distorsipemahaman agama menjadi akar dari munculnya sikap radikal dalam beragama. Pemahaman terhadap dalil agama hanya secara harfiyah atau literer yang menimbulkan kekakuan dalam beragama. “Internet menjadi saluran dan rujukan yang massif dan efektif digunakan untuk menyampaikan dan mempelajari kontens keagamaan, khususnya bagi generasi millenial,” kata Taufiq dalam webinar Aptika Kominfo dikutip Rabu (21/5/2024).
Info Jadwal Pembukaan CPNS 2024, Daftar di Link sscasn.bkn.go.id dan Formasi PDF Serambinews.com Dia mengimbau publik khususnya generasi muda lebih cerdas menyaring konten radikali di media sosial. Penelitian terbaru yang diawasi oleh Guru Besar UIN Bandung menyebutkan, 58 persen anak muda lebih suka belajar agama melalui media sosial seperti Youtube atau Instagram.
Selain itu tak banyak anak anak muda yang mengenal organisasi keagamaan dan cenderung lebih mengenal pendakwah individual yang aktif didunia maya. “Hijrah dan Syar’I menjadi tren baru yang menyempit pada lifestyle, pakaian dan kelompok pengajian karena peranan influencer dan digital marketing,” ungkapnya Kemudian kiai yang mumpuni kalah tenar dengan ustadz/ustadzah baru dari kalangan selebgram.
“Derasnya arus informasi menyebabkan kita sulit menyaring mana yang shahih (valid) dan mana yang tidak,” paparnya Menurut Taufiq, konten dakwah online banyak didominasi oleh kelompok yang cenderung eksklusif terhadap Muslim lain yang tidak sepaham. “Pencarian di internet dengan kata kunci tertentu, akan menghasilkan referensi yang hanya relevan dengan kata kunci tersebut. (Google pleases your perspectives). Akibatnya, bisa terjadi sempit pemahaman terhadap agama,” ulasnya. Konten radikal menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi kalangan millenial yang sangat akrab dengan media sosial.
Adanya fakta bahwa perekrutan anak muda ke dalam organisasi radikal mayoritas di lakukan melalui media social. Penguatan civil society adalah kunci untuk menghalau radikalisme. Kegiatan kontra radikal terorisme secara simultan dan efektif harus dilakukan oleh segenap pemerintah dan masyarakat. tidak ada istilah menyerahkan urusan ini kepada polisi/tentara sebagai badan yang bertanggung jawab secara structural kenegaraan. Akan tetapi masyarakatperlu/wajib terlibat sebagaimana subtansi amanat UUD 1945 untuk sama sama menjaga NKRI.
Praktisi Digital Ismail Cawidu memaparkan bahwa dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dengan jelas menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. UUD 1945 PSL 28F telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan & kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan & kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta meningkatkan hubungan antarbangsa jaringan infrastruktur TIK dibangun untuk kemaslahatan / kesejahteraan.
Namun faktanya orang justru menggunakan TIK untuk menyengsarakan orang lain, merusak tatanan kehidupan masyarakat, menyebar kebencian, permusuhan, dan radikalisme mengakibatkan penderitaan orang lain. “Segala energi, kerja keras, dan dana yang dipergunakan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi menjadi tidak produktif,” tutur Ismail.